OPINI - Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DK Jakarta) merupakan pusat urbanisasi yang sangat padat, dengan populasi mencapai sekitar 11, 34 juta jiwa pada pertengahan 2024 di 267 kelurahan. Kepadatan penduduk ini menjadikan Jakarta salah satu kota metropolitan terbesar di Indonesia, sekaligus menghadapi tantangan besar dalam tata Kelola limbah sampah.
Setiap hari, Kota Jakarta menghasilkan ribuan ton sampah, yang sebagian besar berasal dari aktivitas rumah tangga, komersial dan industri. Tingginya volume sampah ini tidak hanya membebani sistem pengelolaan konvensional, tetapi juga menciptakan keberlanjutan masalah lingkungan; seperti polusi dan penumpukan di tempat pembuangan akhir.
Munculnya permasalahan dalam menata-kelola sampah di Jakarta tentunya semakin hari semakin meresahkan, denga bertambahnya jumlah penduduk, maka volume sampah juga terus meningkat. Salah satu alternatif solusi strategis untuk mengatasi permasalahan sampah dan mendukung transisi energi bersih di DKI Jakarta, yaitu melalui pengelolaan sampah menjadi energi terbarukan, seperti pengolahan sampah menjadi energi (waste-to-energy atau WtE) melalui Pembangkit Listrik Tanaga Sampah (PLTSa).
Teknologi ini tidak hanya mengurangi volume sampah secara signifikan, tetapi juga menghasilkan energi listrik yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kota, sekaligus mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan mendukung keberlanjutan lingkungan.
Hasil studi dari Mineral and Industrial Institute merekomendasikan; Pemerintah Daerah DKI-Jakarta membutuhkan beberapa instalasi pengolahan sampah untuk menangani sekitar 7.700 ton sampah setiap harinya, ini menunjukkan “urgensi” dalam penerapan teknologi WtE secara masif. Sepanjang tahun 2024, total sampah yang dihasilkan di Jakarta mencapai 3.171.247, 60 ton, mencerminkan beban pengelolaan yang semakin berat di tengah keterbatasan lahan TPA.
Sementara itu pada sisi demand, total listrik yang didistribusikan pada tahun 2023 di Provinsi DKI Jakarta (data BPS/PLN agregat) sekitar 36.992, 35 GWh/tahun, yang menandakan potensi besar WtE untuk berkontribusi pada pasokan energi kota bisa dilakukan tanpa menambah ketergantungan pada sumber konvensional.
Dengan pembangkit listrik berbasis sampah (PLTSa), sebagian dari volume sampah ini dapat dikonversi menjadi energi listrik yang bersih, sehingga meringankan beban infrastruktur sampah sekaligus mendukung target transisi energi berkelanjutan.
Saat ini, geliat baru dalam pengelolaan sampah di Provinsi Jakarta muncul seiring kebijakan Pemerintah yang menugaskan Badan Pengelola Investasi Danantara (BPI Danantara) dan PT PLN untuk mengelola sampah secara terpadu, sementara Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam menyiapkan fasilitas Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Kebijakan ini menjadi langkah strategis untuk mempercepat implementasi teknologi waste-to-energy (WtE) guna menangani 7.700 ton sampah harian di Jakarta.
Selain itu, banyak stakeholder mengharapkan adanya transformasi skema pembiayaan, di mana biaya “tipping fee” dapat diberikan langsung kepada pengelola PLTSa, serta subsidi langsung melalui pembelian listrik yang dihasilkan dari PLTSa. Jika dapat direalisasikan, langkah ini tidak hanya mendorong efisiensi di dalam pengelolaan sampah, tetapi juga menciptakan ekosistem ekonomi yang berkelanjutan, sehingga mendukung keberlajutan operasional PLTSa, dan memperkuat transisi energi bersih di ibu kota.
Generasi muda di Jakarta juga memiliki potensi strategis sebagai agen perubahan dalam transformasi energi dan pengelolaan lingkungan perkotaan. Dukungan mereka terhadap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dapat diwujudkan melalui berbagai pendekatan, seperti partisipasi dalam edukasi lingkungan, inovasi melalui kewirausahaan hijau, serta mendorong perubahan perilaku menuju gaya hidup yang berkelanjutan.
Misalnya, generasi muda dapat mengkampanyekan tentang “pentingnya” memilah sampah atau mengembangkan solusi teknologi untuk mendukung pengelolaan sampah berbasis waste-to-energy (WtE). Karena, Keberhasilan pembangunan PLTSa di Jakarta akan sangat bergantung pada keterlibatan generasi muda yang berpikiran kritis, peduli terhadap lingkungan ekologis, dan berinovasi untuk menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan.
Penerapan teknologi waste-to-energy melalui PLTSa di Jakarta merupakan langkah krusial untuk mengatasi krisis sampah, sekaligus mendukung transisi energi bersih. Kolaborasi antara Pemda, BPI Danantara, PT PLN, dan para stakeholder menjadi kunci keberhasilan selanjutnya melalui perumusan kebijakan yang progresif, serta peran aktif generasi muda sebagai agen perubahan.
Ayo Pemda DKI Jakarta, Saatnya kita bersama mewujudkan era waste-to-energy untuk Jakarta yang lebih bersih, hijau, dan berenergi terbarukan.
Ir. Kiagus Ridwan adalah Direktur Mineral And Industrial Institute.

1 day ago
9

















































