BENGKAYANG - Di balik gemuruh PLTU Bengkayang yang menyuplai listrik stabil dan bersih ke Kalimantan Barat, tersembunyi sebuah kisah yang jarang terekspos. Bukan para insinyur andal atau teknisi berpengalaman yang menjadi sorotan utama, melainkan sosok-sosok tangguh para ibu rumah tangga. Merekalah pahlawan senyap di balik program cofiring biomassa, yang mengumpulkan limbah serbuk gergaji dari akar rumput demi mewujudkan energi bersih.
Sejak Juli 2024, PLTU Bengkayang telah mengadopsi teknologi inovatif cofiring, yang berarti mencampurkan biomassa, khususnya sisa-sisa olahan kayu, ke dalam pembakaran batubara. Inisiatif ini tidak hanya mengubah lanskap energi nasional, tetapi juga membuka peluang baru bagi masyarakat, terutama perempuan.
Setiap pagi, sebelum mentari menyapa cakrawala, Selawati, seorang ibu muda berusia 21 tahun dari Desa Duri 2, Kecamatan Sungai Kunyit, Kabupaten Mempawah, telah memulai rutinitasnya. Dengan satu anak kecil yang ditinggalkan sebentar di rumah, ia dan suaminya dengan sigap mengumpulkan serbuk kayu dari tempat penggergajian di dekat kediaman mereka. Kegiatan ini telah menjadi sumber penghidupan yang lebih ringan dan aman dibandingkan pekerjaan sebelumnya.
"Dulu saya cari kayu cerocok ke hutan, satu jam naik perahu. Sekarang tinggal kumpulkan sawdust (serbuk kayu) depan rumah, " ujar Selawati dengan senyum merekah, tangannya tak henti bergerak mengisi karung-karung dengan serbuk kayu. Dalam sehari, mereka mampu mengumpulkan antara 50 hingga 60 karung. Setiap karung dihargai Rp4.000 oleh PT Senator Karya Manages (SKM), mitra PLN dalam penyediaan bahan cofiring untuk PLTU.
Desa Sungai Duri 2, tempat Selawati tinggal, memiliki posisi strategis, berdekatan dengan dua proyek raksasa nasional: Smelter PT BAI dan Pelabuhan Internasional Kijing. Namun, di tengah geliat pembangunan tersebut, denyut kehidupan warga desa ini masih erat terjalin dengan alam. Desa ini dikenal mandiri dengan infrastruktur jalan yang memadai, memudahkan akses ke kota dan pelabuhan. Kendati demikian, sumber penghasilan utama sebagian besar warganya belum banyak berubah, masih bergantung pada pencarian kayu di hutan, melaut, dan berdagang skala kecil.
Bagi Selawati, kehadiran proyek-proyek besar tersebut belum sepenuhnya mentransformasi kesehariannya. Ia bukanlah satu-satunya. Puluhan ibu rumah tangga di kampungnya kini menggantungkan asa pada limbah serbuk kayu. Setiap karung yang terkumpul menjadi penopang terpenuhinya kebutuhan rumah tangga, memberikan secercah harapan di tengah keterbatasan.
Program cofiring biomassa ini tak hanya mengarahkan pengelolaan energi nasional menuju sumber yang lebih bersih, tetapi juga menciptakan lapangan kerja informal yang berarti bagi masyarakat sekitar. Terutama kaum perempuan, yang sebelumnya mungkin hanya berprofesi sebagai buruh kasar atau bahkan tak memiliki penghasilan tetap.
Di Desa Megatimur, Sungai Ambawang, Kubu Raya, kisah serupa juga terjadi. Baiti (25), seorang ibu dua anak, turut merasakan dampak positif program cofiring. Ia kini bekerja di fasilitas produksi biomassa milik CV Rezeki Insan Lestari (RIL), salah satu mitra PLN yang memasok wood chip ke PLTU Bengkayang.
Setiap pagi, Baiti bersama rekannya, Apung, mendorong gerobak kecil berisi potongan kayu menuju mesin pencacah. Langkah mereka, meski hanya menempuh jarak lima meter, sesungguhnya menggerakkan roda ekonomi rumah tangga mereka sendiri.
"Saya dibayar Rp75 ribu per hari. Dulu cuma dapat Rp50 ribu per hari sebagai buruh cuci, " kenang Baiti dengan penuh rasa syukur.
Kini, Baiti bahkan mampu menabung dan mengikuti arisan mingguan. Penghasilan tetap yang dulu hanya menjadi impian, kini telah menjadi kenyataan. Dengan jam kerja yang teratur, mulai pukul 08.00 hingga 11.00, dilanjutkan setelah istirahat dari pukul 13.00 hingga 17.00, Baiti tetap memiliki waktu untuk mengurus rumah dan anak-anaknya. Program ini memberikan kesempatan bagi perempuan untuk tetap menjalankan peran ganda mereka tanpa harus terpinggirkan. (PERS)