JAKARTA - Langkah besar diambil PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam mewujudkan komitmennya terhadap energi bersih. Dalam satu dekade mendatang, PLN menargetkan 76 persen dari total penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 69, 5 gigawatt (GW) akan disuplai oleh energi baru terbarukan (EBT). Angka ini setara dengan 42, 1 GW yang akan dikembangkan.
Target ambisius ini tertuang jelas dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN untuk periode 2025-2034. Direktur Manajemen Proyek dan Energi Baru Terbarukan PLN, Suroso Isnandar, memaparkan bahwa kebutuhan penambahan kapasitas pembangkit listrik baru selama 10 tahun ke depan diperkirakan mencapai sekitar 70.000 megawatt. Dari jumlah tersebut, mayoritas, atau 76 persen, akan berasal dari EBT, termasuk potensi energi nuklir dan sistem penyimpanan energi (storage).
"Pada 2025-2034, kita sudah memprogramkan dari kebutuhan penambahan kapasitas pembangkit listrik yang baru sampai 10 tahun ke depan kita membutuhkan 70 ribu megawatt kurang lebih, itu 76 persen itu diambil dari penambahan kapasitas dari pembangkit EBT termasuk nuklir dan storage, " ujar Suroso Isnandar dalam forum Indonesia Energy Transition Dialogue 2025 di Hotel Pullman, Jakarta, Senin (6/10).
Rincian penambahan kapasitas dari EBT mencakup berbagai sumber energi hijau. Tenaga bayu diproyeksikan menyumbang 7, 2 GW, tenaga surya 17, 1 GW, panas bumi 5, 2 GW, tenaga air (hidro) 11, 7 GW, dan bioenergi 0, 9 GW. Selain itu, potensi energi nuklir sebesar 0, 5 GW dan sistem penyimpanan energi (storage) sebesar 10, 3 GW juga menjadi bagian dari strategi ini. Sementara itu, energi konvensional non-EBT akan menyumbang 1, 6 GW, yang terdiri dari gas sebesar 10, 3 GW dan batu bara sebesar 6, 3 GW.
Suroso menegaskan keseriusan PLN dalam merealisasikan rencana ini. "Apa pun yang ada di RUPTL yang telah ditetapkan pemerintah maka PLN harus melakukannya. Ini bukti komitmen kami supaya net zero emission 2060 bisa tercapai, " tandasnya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, memberikan pandangannya mengenai aspek pendanaan dalam transisi energi. Menurutnya, pendanaan bukanlah kendala utama yang menghambat.
"Money is not the issue. Kenapa? Kalau kita lihat dalam lima tahun terakhir itu global investment energy naik terus. Laporan IEA (Badan Energi Internasional) itu tahun ini mungkin US$5 miliar, dan lebih dari 60 persen itu ke energi terbarukan, " jelas Fabby Tumiwa.
Namun, Fabby menyoroti minimnya aliran investasi EBT ke negara berkembang seperti Indonesia. Ia berpendapat bahwa investasi cenderung mengalir ke proyek-proyek yang dianggap bankable atau layak dibiayai oleh bank.
"Renewable energy project kenapa lamban karena engga bankable. Kalau buat pelaku usaha, karena kalau saya punya project pun enggak bisa didanai oleh bank. Karena bank melihat tidak bankable. Itu yang menjadi masalah dari tahun ke tahun, " ungkap Fabby Tumiwa.
Ia menambahkan bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah kebijakan dan regulasi yang ada, meskipun diakuinya ada upaya perbaikan yang terus dilakukan. (PERS)