Menangisi Runtuhnya ‘Tulang Punggung’ Peradaban: Ironi di Balik Rencana Pembongkaran Jembatan Anai

14 hours ago 9

Sumatera Barat tampaknya sedang bersiap untuk kembali berduka. Bukan sekadar duka karena bencana alam yang silih berganti menghantam bumi Minangkabau, melainkan duka akibat potensi hilangnya legacy sejarah yang tak ternilai harganya. Kabar mengenai rencana pembongkaran kaki Jembatan Kembar di Lembah Anai — sebagai respons atas musibah banjir tempo hari — adalah sebuah lonceng kematian bagi narasi besar perkeretaapian Sumatera Barat. Jika satu tiang dicabut, maka goyahlah seluruh bangunan. Ibarat Rumah Gadang, mencabut satu tiangnya adalah awal dari keruntuhan seluruh marwah sebuah rumah.

Dibangun pada akhir abad ke-19

Jembatan Kereta Api Anai, bagian dari jalur kereta api Lembah Anai di Sumatera Barat, dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada akhir abad ke-19, dioperasikan sekitar tahun 1892, dan merupakan bagian penting dari jalur pengangkutan batubara dari Sawahlunto ke Pelabuhan Teluk Bayur (Emma Haven). Jalur dan jembatan ini terkenal karena dibangun di medan ekstrem tanpa alat berat modern, menjadikannya salah satu jalur kereta api tersulit di Sumatera Barat pada masanya.

Darah, Nyawa, dan Identitas yang Terlupakan, seringkali terlalu praktis dan teknis dalam memandang sebuah infrastruktur. Namun, Jembatan Tinggi Lembah Anai dan Jembatan Kembar Anai bukanlah sekadar tumpukan baja dan beton. Ia adalah monumen bisu dari tetesan keringat, darah, dan nyawa ribuan pendahulu kita yang dipaksa bekerja oleh kolonial Belanda demi sebuah ambisi kemajuan. Ketika jembatan ini berdiri tegak menantang curamnya tebing dan derasnya air terjun, ia menjadi saksi bisu bagaimana Sumatera Barat pernah menjadi pusat perhatian dunia.

Karya Novel Buya Hamka

Bukti bahwa begitu melekatnya dunia kereta api dengan keseharian masyarakat Sumbar, silahkan baca kembali karya-karya novel Buya Hamka yang selalu bercerita dan menggunakan transportasi kebanggaan waktu itu yaitu Kereta Api, yang lebih dikenal dengan Lokomotif nya yaitu Mak Itam alias Loko Uap.

Kereta api bagi Buya Hamka adalah bagian dari pengalaman mobilitas, baik untuk mencari ilmu maupun merasakan keindahan alam.

Di surau-surau di Ranah Minangkabau ini sering kita dengar nasihat para tokoh agama, “Berjalan lah engkau sesuai Rel yang sudah ditentukan. Karena Rel itu tidak pernah berbelok secara tiba-tiba…”. Saya gak tahu persis sejak kapan nasihat seperti ini mulai berkembang. Segitu dalamnya dunia kereta api ini di Sumbar meresap hingga menjadi nasehat sehari-hari. Yang jelas, saya tidak pernah dengar pemuka agama yang menasehati agar berjalan sesuai Jalan Raya. Walau jalan raya lebih dulu ada sebelum Rel Kereta Api.

Jika bertemu Tokoh-tokoh Senior Nasional asal Sumatera Barat, mereka bisa semalam suntuk akan bercerita nostalgia bagaimana dulu perjuangan hidupnya didukung oleh Kereta Api.

Warisan Dunia

Sumatera Barat dulu maju, dikenal, dan disegani karena eksistensi Railways (Kereta Api) terutama dari Sawahlunto ke Emma Haven atau Teluk Bayur. Kehadiran Lokomotif Uap yang membelah keindahan Tropical Rainforest Lembah Anai adalah simbol modernitas pada masanya. Hari ini, saat jembatan tersebut telah menyandang status sebagai World Heritage UNESCO, kita justru akan dihadapkan pada wacana pembongkaran. Sungguh sebuah ironi yang menyayat hati. Apakah kita adalah bangsa yang begitu pendek ingatan, hingga dengan mudahnya menghapus jejak perjuangan nenek moyang demi solusi jangka pendek?

Jembatan sebagai Ikon dan Harga Diri

Pada tahun 2007, saya dan teman-teman MPKAS sempat berjuang mencari sponsor hanya untuk melakukan painting ulang pada jembatan ini (termasuk beberapa gerbong kereta api) dengan warna Oranye. Setelah lapuk dan pudar, cat nya dikembalikan lagi oleh PT KAI ke warna perak. Tujuannya sederhana namun fundamental: agar jembatan ini tampil lebih “ngecring”, lebih cantik, dan yang paling penting, agar masyarakat tidak lupa. Saya ingin setiap orang yang melintas di Lembah Anai menoleh dan menyadari bahwa di sana ada sebuah Warisan Dunia yang sangat agung.

Kita tidak boleh menutup mata bahwa jalur transportasi darat di Lembah Anai adalah main artery atau urat nadi perekonomian Sumatera Barat. Namun, menyelesaikan masalah banjir dengan mengorbankan jembatan bersejarah adalah logika yang sangat berbahaya. Membongkar jembatan ini sama saja dengan memutus mata rantai sejarah peradaban Minangkabau yang mendunia lewat jalur besi. Jika jembatan ini hilang, maka Kereta Api Sumatera Barat hanya akan menjadi dongeng pengantar tidur dan catatan kusam di arsip UNESCO.

Logistik dan Efisiensi Angkutan Barang

Revitalisasi jembatan dan jalur ini bukan sekadar urusan romantisme sejarah atau pariwisata semata. Kita harus melihat visi yang lebih besar: efisiensi freight transport (angkutan barang). Kereta api adalah solusi logistik paling masuk akal untuk menghubungkan komoditas dari Pantai Barat menuju Pantai Timur Sumatera.

Read Entire Article
Energi Alam | Padang | | |