PADANG, METRO–Wakaf di samping memiliki nilai pahala, juga memiliki sistem sosial ekonomi yang berkelanjutan yang dapat membawa kemaslahatan umat.
“Wakaf ibadah berdimensi pembangunan yang menjembatani spritualitas dengan kesejahteraan, melalui aktivitas ekonomi yang membawa kemaslahatan umat,” ungkap Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. DR K H Maa’ruf Amin, saat menjadi keynote speaker pada Konferensi Wakaf Internasional di Padang, Sabtu (15/11).
Wakaf menurut Wakil Presiden RI ke-13 itu, sejak zaman Nabi Muhammad SAW telah menjadi instrumen peradaban. Para sahabat nabi menjadikan wakaf sumber pendidikan, kesehatan dan juga pelayanan sosial. Semangat itu melahirkan universitas Islam tertua di dunia, rumah sakit wakaf dan lembaga sosial yang menopang peradaban Islam berabad-abad lamanya.
Di Indonesia, potensi wakaf cukup besar. Maa’ruf Amin mengungkapkan, lebih dari 440 ribu lokasi tanah wakaf terdapat di Indonesia dengan luas mencapai 57 ribu hektar. Namun, baru sekitar 4 persen yang produktif secara ekonomi.
“Tatanan wakaf itu kini banyak digunakan untuk masjid, musala, sekolah, pesantren dan lembaga sosial. Kita tentu bersyukur atas manfaat keagamaan dan sosial yang besar itu. Tapi di saat yang sama, kita memiliki tanggung jawab agar aset wakaf bermanfaat tidak hanya secara spiritual, tetapi juga sumber kekuatan ekonomi umat,” harap Maa’ruf Amin pada konferensi yang mengusung tema “Wakaf untuk Pembangunan Berkelanjutan,” itu.
Dari sisi wakaf uang, Maa’ruf Amin juga melihat perkembangan menggembirakan. Hingga Desember 2024, nilai wakaf uang terkumpul Rp3 triliun. Terdiri dari 13 seri Cash Waqf Link Sukuk (CWLS) senilai Rp1,16 triliun, dan Cash Waqf Linked Deposit (CWLD) senilai Rp6,1 miliar. “Bila dibandingkan potensi nasional Rp180 triliun per tahun, angka itu baru setetes lautan besar potensi yang kita miliki. Sangat kecil, baru 4 persen,” unkapnya.
Maa’ruf Amin menegaskan, mengembangkan wakaf diperlukan sistem kelembagaan dan tata kelola yang kuat. Di sini tantangannya. “Masih banyak aset wakaf belum termanfaatkan secara produktif. Sebagian karena keterbatasan nazir, sebagian karena belum ada akses pendanaan dan penjaminan memadai. Sebagian lagi, belum memiliki kelembagaan khusus sebagai katalis pembangunan berbasis wakaf,” terang Maa’ruf Amin.
Karena itu, perlu dibangun paradigma baru pengelolaan wakaf. Menurutnya, wakaf bukan milik tafnir, atau lembaga sosial, tetapi bagian integral sistem ekonomi syariah nasional. “Kita perlu lembaga penghubung dana wakaf dan proyek produktif yang mampu menjamin transparansi, profesionalisme dan kepatuhan syariah,” harapnya.
Lembaga ini, tambahnya, harus jadi penggerak ekosistem, bukan sekadar menyalurkan dana, tetapi juga memberikan pendampingan, teknis, melakukan management risiko dan memastikan setiap proyek wakaf berjalan efektif dan berkelanjutan.
“Kita tidak mulai dari nol, Indonesia telah memiliki lembaga pengelolaan aset dan investasi seperti Indonesia Invesment Authority. Juga ada Sarana Multi Infratsruktur (SMI) dan juga lembaga global yang menjadi contoh mengelola aset secara transparan dan produktif. Keberhasilan pengelolaan wakaf tidak mungkin terjadi tanpa kelembagaan yang kuat, SDM berkompeten dan kebijakan publik yang berpihak,” ungkapnya.
Maa’ruf Amin juga menambahkan, di era globalisasi, nilai dan investasi wakaf yang dulu bersifat lokal dan tradisonal dapat dihubungkan dengan jaringan investing global, melalui instrumen seperti sukuk, link wakaf CWLS dan CWLD.
“Kita bisa menarik partisipasi investor global bukan hanya dari dunia Islam, tapi lembaga filantropi dan juga lembaga internasional yang peduli sustainable finance. Namun, peluang global ini hanya bisa terwujud bila kita mampu menghadirkan kepercayaan dan akuntabilitas. Tata kelola yang transparan, audit syariah yang ketat dan pelaporan terbuka, harus menjadi prinsip utama pengelolaan wakaf,” tegasnya.
Kepala Administrasi Pusat Dakwah dan Media Keagamaan Universitas Al Azhar, Mahmoud Al Hawary mengatakan, pembangunan berkelanjutan melalui wakaf dapat diwujudkan dengan berbagai macam program yang berkaitan dengan aspek peribadatan seperti, pembangunan rumah ibadah, Tahfidz Al Quran.
Sementara aspek pendidikan, aplikasi diwujudkan melalui pembangunan sekolah, pesantren dan universitas, kesehatan dengan mendirikan rumah sakit dan pusat kesehatan. Aspek sosial diwujudkan pemberian bantuan langsung dan pelatihan pemberdayaan masyarakat.
Wakaf saat ini menghadapi tantangan konsep ekonomi yang masih konvensional. Pengelolaan wakaf dalam bentuk lembaga yang efektif dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut perlu didukung riset management dan program yang baik. “Targetnya terwujudnya pembangunan berkelanjutan, namun tidak keluar dari hukum syariat,” tegasnya.
Menteri Agama RI, Prof Dr KH Nasaruddin Umar MA mengatakan, Konferensi Wakaf Internasional ini panggilan untuk memperkuat tradisi besar itu dengan pendekatan lebih modern, sistematis dan berkelanjutan.
“Saat ini lebih dari 278 ribu tanah wakaf tersertifikasi Badan Pertanahan Nasional (BPN). Capaian besar yang diperoleh Presiden RI ini loncatannya luar biasa. Ini menunjukan besarnya komitmen dan perhatian pemerintah,” ungkapnya.
Di atas tanah wakaf itu, berdiri madrasah, pesantren, masjid, musala, fasilitas kesehatan, pemakaman umum dan pelayanan sosial lainnya yang memberikan manfaat langsung kepada masyarakat. Jutaan orang berinteraksi setiap hari dengan berbagai layanan yang berdiri di tanah wakaf. Tanpa mereka sadari, manfaat itu sesungguhnya dari kemurahan wakif (pemberi wakaf).
Wakaf bukan hanya membangun ruang fisik, tapi ruang sosial, tempat masyarakat bertumbuh dalam suasana aman, damai dan religius. Jika melihat lebih jauh, wakaf telah menjadi urat nadi kehidupan umat yang mengalirkan manfaat tanpa henti. “Wakaf berikan ruang belajar bagi anak bangsa, ruang ibadah yang menentramkan jiwa dan ruang pelayanan sosial yang menopang kehidupan masyarakat. Manfaat itu berjalan terus menerus. Bahkan, ketika wakif telah tiada,menjadikan amal jahiriyah paling tahan lama,” ungkapnya.
Khusus Sumbar, betul-betul bersyukur, mudah- mudahan Sumbar jadi barometer pemberdayaan wakaf. Nasaruddin Umar mengungkapkan, pundi-pundi umat yang dikembangkan Rasulullah jauh lebih besar. Rasulullah lahir mendahului zamannya. “Kita baru memikirkan wakaf dan zakat beberapa tahun. Rasulullah telah mengembangkan 37 pundi-pundi umat, seperti zakat, sedekah, infak, hibah, sukuk, kurban, akikah fidyah, nazar, wasiat dan lainnya,” ungkapnya.

22 hours ago
5


































