Tragedi Sumatera: Pemicu Reformasi Total Tata Kelola Bencana dan Lingkungan,

1 day ago 10

  Oleh: Fajri Hidayat

BENCANA banjir bandang dan tanah longsor yang melanda sebagian wilayah Sumatera sejak akhir November lalu telah menimbulkan kerugian besar dan duka yang mendalam. Lebih dari 700 orang dinyatakan meninggal dunia, 550 orang hilang, dan lebih dari 2.600 orang terluka. Saya termasuk yang sependapat, bahwa tragedi ini bukan semata-mata musibah alam, melainkan wujud dari kegagalan sis­temik dalam pengelolaan sumber daya publik dan akuntabilitas pemerintahan. Padahal, sektor publik harusnya paling menekankan pentingnya transpa­ransi, efisiensi alokasi anggaran, dan audit atas kebijakan lingkungan serta penanggulangan bencana. Dalam konteks ini, ketidakmampuan pemerintah pusat untuk segera menetapkan status bencana nasional mengisyaratkan lemahnya mekanisme akuntabilitas, yang pada akhirnya memperburuk dampak sosial-ekonomi dan menimbulkan biaya pemulihan yang lebih tinggi bagi negara.

Interaksi Alam dan Kegagalan Investasi Pencegahan

Akar masalah bencana ini berada pada interaksi antara faktor alam dan perilaku manusia, yang me­nyoroti kegagalan dalam investasi pencegahan. Siklon Tropis Senyar, dengan curah hujan ekstrem hingga 200-300 milimeter per hari, memang menjadi pe­micu utama, sebagaimana dilaporkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam analisisnya pada 30 November lalu, seperti yang dikutip oleh BBC News Indonesia. Fenomena ini diperburuk oleh pola iklim La Niña dan pemanasan global, yang menurut la­poran Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2023, me­ningkatkan frekuensi kejadian hidrometeorologi. Namun, investasi publik da­lam mitigasi iklim—seperti pemantauan cuaca dan restorasi ekosistem—jelas telah terabaikan. Data dari Global Forest Watch, sebagaimana dirilis oleh Kom­pas.com pada 2 De­sember 2025, menunjukkan penurunan tutupan hutan hingga 44 persen di Suma­tera Barat antara 2021 dan 2024, akibat penebangan liar dan konversi lahan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bahkan telah mencatat kehilangan 1,4 juta hektar hutan di ketiga provinsi terdampak dalam satu dekade terakhir. Ini bukan hanya isu lingkungan, melainkan kegagalan akuntabilitas fiskal: anggaran negara untuk pengawasan kehutanan tidak efektif, sehingga biaya pencegahan yang relatif rendah digantikan oleh biaya pemulihan yang mencapai triliunan rupiah.

Dampak bencana ini mengungkap inefisiensi dalam alokasi sumber da­ya dan risiko fiskal jangka panjang. Hingga 4 Desember 2025, BNPB melaporkan 3,3 juta penduduk terdampak, dengan 582.500 orang mengungsi dan kerugian infrastruktur yang parah, termasuk jembatan putus dan jalan terblokir. Menurut update BNPB yang dikutip Kompas.com pada 4 Desember 2025, sektor pertanian dan perikanan mengalami kelumpuhan, dengan estimasi kerugian ekonomi mencapai triliunan rupiah. Risiko kesehatan pasca-bencana, seperti potensi wabah diare dan malaria, menambah beban anggaran kesehatan publik. Hal ini menunjukkan kegagalan dalam penganggaran berbasis risiko: pemerintah daerah, meskipun telah menetapkan status darurat lokal—Aceh mulai 28 November, Sumatera Utara dan Su­matera Barat sejak 27 November—belum mampu mengelola dana secara optimal tanpa intervensi pusat. Biaya pemulihan infrastruktur dan bantuan kemanusiaan akan membebani Anggaran Penda­patan dan Belanja Negara (APBN), sementara audit atas penggunaan dana da­rurat sering kali terlambat, membuka celah korupsi dan inefisiensi.

Sementara itu, mes­kipun pemerintah pusat telah mengalokasikan dana APBN untuk bantuan se­perti 34.000 ton beras dan 6,8 juta liter minyak goreng atas instruksi Presiden Prabowo Subianto, masih menunjukkan kelemahan akuntabilitas yang krusial. Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto menyatakan bahwa situasi belum memenuhi kriteria Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 untuk status bencana nasional, karena penanganan dianggap memadai melalui Anggaran Penda­patan dan Belanja Daerah (APBD). Namun, pernya­taan kontroversialnya bahwa bencana “hanya men­cekam di media sosial,” sebagaimana dilaporkan BBC News Indonesia pada 1 Desember 2025, mencerminkan kurangnya trans­paransi dan empati dalam komunikasi publik. Per­nyataan serupa dari pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan me­ngenai kayu gelondongan sebagai “kayu lapuk,” yang dikritik oleh Tempo.co pada 3 Desember 2025, menunjukkan upaya defensif yang mengabaikan bukti illegal logging. Hal ini mengindikasikan lemahnya sistem audit internaltanpa akuntabilitas yang kuat, narasi resmi dapat menyembunyikan ke­ga­galan kebijakan, sehingga menghambat evaluasi fis­kal yang obyektif. Desakan dari Komisi VIII DPR RI, Amnesty International, dan Greenpeace untuk pe­netapan status nasional semakin relevan, karena skala korban telah melampaui ambang batas regulasi, sebagaimana dibahas dalam laporan Nu.or.id pada 1 Desember 2025.

Kenyataan sebaliknya justru tergambar dalam kecepatan respons ma­syarakat sipil, yang me­nyoroti potensi sinergi an­tara sektor swasta dan publik dalam pengelolaan da­na darurat. Misalnya saja, influencer seperti Ferry Irwandi dan Praz Teguh berhasil menggalang dana lebih dari Rp10 miliar melalui platform KitaBisa dan mengirimkan bantuan ke daerah terpencil dalam waktu empat hari, seba­gaimana dilaporkan Kom­pas.com pada 2 Desember 2025. Inisiatif ini, tanpa hambatan birokrasi, me­nunjukkan efisiensi yang bisa dicapai melalui trans­paransi dan akuntabilitas langsung. Namun, ini se­kaligus mengkritik lambatnya mobilisasi pemerintah melalui dana APBN yang sering kali terjebak dalam prosedur administratif. Ini menjadi peluang untuk reformasi: integrasi dana swasta ke dalam kerangka akuntansi publik dapat me­ningkatkan efisiensi, asalkan didukung oleh audit independen.

Read Entire Article
Energi Alam | Padang | | |