PDG. PARIAMAN, METRO —Ratusan siswa Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Sungai Geringging, Kabupaten Padangpariaman menggelar aksi unjuk rasa di depan sekolah tersebut, Rabu (14/5). Aksi tersebut merupakan buntut dari kekesalan para siswa yang menilai pihak sekolah tak adil dalam menangani kasus pencabulan yang dilakukan oknum pegawai Tata Usaha (TU) terhadap salah satu siswi.
Pasalnya, para siswa menilai pihak sekolah terkesan melindungi oknum pegawai TU yang berstatus honorer tersebut lantaran pelaku tidak diproses hukum. Sedangkan korban malah mendapatkan intimidasi dari pihak sekolah dengan membuat perjanjian damai sepihak yang sangat merugikan korban.
Intimidasi tersebut terdapat pada poin terakhir bahwa pihak keluarga tidak boleh melapor ke pihak berwenang. Poin tersebut, membuat korban tidak bisa menempuh jalur hukum. Selain itu, korban yang mengalami trauma atas kejadian tersebut malah dipindahkan dari sekolah tersebut ke sekolah lain yang jauh dari rumahnya.
Dari lokasi terlihat, terlihat ratusan siswa berorasi seklaigus memasang spanduk yang menyatakan bahwa telah terjadi sebuah tindakan memalukan di sekolah. “Berhentikan guru cabul dan turunkan kepala sekolah,” tulisan salah satu spanduk yang dibentangkan siswa dalam aksi unjuk rasa itu
Ketua OSIS SMAN 1 Sungai Geringging yang juga koordinator aksi, George Agian Syava mengatakan, aksi bersama masyarakat setempat ini merupakan bentuk solidaritas terhadap korban sekaligus menuntut keadilan. Untuk itu, pihaknya menuntut agar Kepala Sekolah SMAN 1 Sungai Geringging dicopot dari jabatannya karena dinilah lalai dalam menjalankan tugasnya.
“Pertama, copot kepala sekolah. Kami juga menuntut pelaku dapat dijerat hukum atas perbuatannya sesuai dengan Undang Undang yang berlaku. Kami juga menuntut agar siswi yang menjadi korban kekerasan seksual yang sebelumnya sudah dipindahkan ke sekolah lain agar dapat kembali bersekolah di sekolah tersebut. Yang terakhir, kamikepada pihak terkait agar dapat membuka kasus ini secara transparan dan menyelesaikannya secara tuntas,” tegas George.
Kasus ini mencuat ke publik setelah seorang siswa baru yang menjadi korban mempublikasikan kesaksiannya melalui video di media sosial, sepekan lalu. Dalam pengakuan yang mengguncang tersebut, korban menyebut telah dua kali dilecehkan oleh oknum Tata Usaha (TU) inisial A di ruang Tata Usaha, sejak Oktober 2024.
Korban mengaku diintimidasi, ponselnya dirampas, diraba-raba, dipaksa untuk memuaskan nafsu bejat pelaku dan diajak masuk ke ruang tertutup oleh pelaku. Ketika menolak, korban justru diancam akan dipanggil kembali.
“Korban menyampaikan bahwa ia tak hanya diraba, tapi juga dicium secara paksa. Ini bukan sekadar pelecehan, ini bentuk kekerasan seksual yang sistematis,” ungkap George, yang kini menjadi juru bicara perjuangan siswa.
Tak berhenti di situ, korban melapor kepada guru BK. Guru tersebut disebut menyimpan bukti-bukti penting, namun diduga ditekan oleh pihak sekolah agar tidak membocorkan apa pun ke publik. Laporan lain yang lebih mencengangkan menyebutkan, sebuah LSM yang awalnya memberikan pendampingan, dikabarkan menerima “uang damai” sebesar Rp 2 juta agar menghentikan advokasi kasus.
Lebih mengejutkan, siswa menyebut bahwa bukti keterlibatan pelaku sempat di simpan di lingkungan sekolah, namun telah dihapus oleh kepala sekolah sendiri. Tuduhan ini semakin memperkuat dugaan adanya upaya sistematis untuk melindungi pelaku dan menyelamatkan citra sekolah, bukan menyelamatkan korban.
Ada empat tuntutan para siswa, pertama pemidanaan terhadap pelaku pelecehan seksual, kedua yaitu restitusi dan pemulihan hak korban, ketiga, sanksi tegas terhadap pihak yang melindungi pelaku dan terakhir transparansi dana sekolah, termasuk pungutan Rp300 ribu per tahun dan iuran pembangunan Rp 75 ribu yang disebut tidak pernah dijelaskan secara resmi.