“Dari Hutan ke Parlemen: Suara Masyarakat Adat yang Tak Kunjung Didengar”

2 weeks ago 35

Oleh: Khessyfa Zahwa Zulaika (Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Andalas)

Masyarakat Hukum Adat atau MHA adalah sekelompok warga negara Indonesia yang hidup secara tradisional dari ge­nerasi ke generasi hidup di suatu wilayah geografis yang mempunyai hak kuasa atas tanah, hukum adat, adat istiadat, dan tata cara hidup yang di akui oleh masyarakat itu sendiri dan di hormati oleh negara Indonesia. Sekelompok ma­syarakat ini bukan hanya sekedar komunitas tradi­sional budaya, lebih dari itu, meraka adalah penjaga hutan, pelindung tanah leluhur dan pemilik pengetahuan lokal yang di percayai oleh mereka guna menjaga keseimbangan lingkungan sekitar yang mereka jaga ratusan tahun lamanya.

Namun sangat menge­cewakan, Peranan negara belum sepenuhnya bisa untuk memberikan perlindungan secara nyata. mes­kipun di akui oleh negara dan sudah hidup beratus tahun di negara ini, bahkan sudah ada sebelum negara ini berdiri, keberadaaan dan hak-hak Masyarakat Hukum Adat masih sering di abaikan. Hal di atas di buktikan oleh, terhentinnya pengesahan Rancangan Undang-Undang Ma­sya­rakat Hukum Adat atau (RUU MHA) sejak tahun 2010 di DPR. Rancangan Undang-Undang Masya­rakat Hukum Adat ini sen­diri pun sangat penting karena menjamin hak atas tanah, lingkungan hidup, kelembagaan hukum adat, dan identitas budaya me­reka. Tujuannya untuk mem­berikan pengakuan, pemenuhan hak-hak, dan perlindungan mereka. Te­tapi, meskipun sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), hingga sekarang belum juga di sahkan. Padahal, jika di sahkan, Rancangan Undang-Undang ini dapat men­jadi pondasi hukum yang kuat untuk menyelesaikan berbagai macam konflik tanah (agraria), kriminalitas terhadap ma­syarakat adat, serta berbagai ketimpangan akses terhadap sumber daya alam dan pembangunan nasional.

Jutaan masyarakat a­dat di seluruh wilayah Indonesia terkena pengaruh jika Rancangan Undang-Undah ini tidak disahkan karena mereka yang meng­gantungkan hidup dari tanah milik masya­rakat adat, hutan adat, dan sumber daya alam lokal, sekarang berada dalam titik bahaya. Mulai dari ma­syarakat adat Papua, Kalimantan, Sumatera, Nusa tenggara timur, hingga Jawa. Tidak sedikit kasus yang membuktikan bagai­mana masyarakat adat kehilangan tanah ulayat me­reka karena adanya pembangunan, izin perusahaan, kebijakan negara yang tidak melibatkan mereka dalam proses pe­ngambilan keputusan pa­dahal mereka mempunyai kuasa atas tanah mereka. Dan juga tudak sedikit mereka yang memperta­hankan tanah mereka akan di kriminalisasi.

Seperti yang terjadi pada masyarakat adat di Pegunungan Meratus, Ka­limantan Selatan, yang hingga saat sekarang belum pernah membeli beras karena pangan nya sudah tercukupi dari hasil lahan sendiri yang menunjukan kehidupannya sangat bergantung pada hutan. Namun, kehidupan mereka terancam di­pindahkan pak­sa karena pemba­ngu­nan sebuah proyek besar milik negara.

Tidak hanya di daerah terpencil. Ketidakadilan terhadap masyarakat hukum adat ini merata di seluruh bagian Indonesia. Seperti yang terjadi di Sumatera, masyarakat adat Tano Ba­tak juga di pindah paksakan. Di kalimantan, ma­syarakat adat sekitar pro­yek Ibu Kota nusantara (IKN) sudah mulai merasakan ketidakadilan. Masya­rakat adat tersebut tidak hanya kehilangan tanah mereka. Lebih daripada itu, mereka kehilangan budaya mereka, nilai-nilai hidup, dan hak hak untuk mempertahankan kehidupan mereka sendiri. Terjadinya Konflik di sebabkan oleh Ketidak terbukaannya pem­bangunan yamg tidak melibatkan masyarakat adat dalam prosesnya.

Read Entire Article
Energi Alam | Padang | | |