Oleh: Khessyfa Zahwa Zulaika (Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Andalas)
Masyarakat Hukum Adat atau MHA adalah sekelompok warga negara Indonesia yang hidup secara tradisional dari generasi ke generasi hidup di suatu wilayah geografis yang mempunyai hak kuasa atas tanah, hukum adat, adat istiadat, dan tata cara hidup yang di akui oleh masyarakat itu sendiri dan di hormati oleh negara Indonesia. Sekelompok masyarakat ini bukan hanya sekedar komunitas tradisional budaya, lebih dari itu, meraka adalah penjaga hutan, pelindung tanah leluhur dan pemilik pengetahuan lokal yang di percayai oleh mereka guna menjaga keseimbangan lingkungan sekitar yang mereka jaga ratusan tahun lamanya.
Namun sangat mengecewakan, Peranan negara belum sepenuhnya bisa untuk memberikan perlindungan secara nyata. meskipun di akui oleh negara dan sudah hidup beratus tahun di negara ini, bahkan sudah ada sebelum negara ini berdiri, keberadaaan dan hak-hak Masyarakat Hukum Adat masih sering di abaikan. Hal di atas di buktikan oleh, terhentinnya pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat atau (RUU MHA) sejak tahun 2010 di DPR. Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat ini sendiri pun sangat penting karena menjamin hak atas tanah, lingkungan hidup, kelembagaan hukum adat, dan identitas budaya mereka. Tujuannya untuk memberikan pengakuan, pemenuhan hak-hak, dan perlindungan mereka. Tetapi, meskipun sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), hingga sekarang belum juga di sahkan. Padahal, jika di sahkan, Rancangan Undang-Undang ini dapat menjadi pondasi hukum yang kuat untuk menyelesaikan berbagai macam konflik tanah (agraria), kriminalitas terhadap masyarakat adat, serta berbagai ketimpangan akses terhadap sumber daya alam dan pembangunan nasional.
Jutaan masyarakat adat di seluruh wilayah Indonesia terkena pengaruh jika Rancangan Undang-Undah ini tidak disahkan karena mereka yang menggantungkan hidup dari tanah milik masyarakat adat, hutan adat, dan sumber daya alam lokal, sekarang berada dalam titik bahaya. Mulai dari masyarakat adat Papua, Kalimantan, Sumatera, Nusa tenggara timur, hingga Jawa. Tidak sedikit kasus yang membuktikan bagaimana masyarakat adat kehilangan tanah ulayat mereka karena adanya pembangunan, izin perusahaan, kebijakan negara yang tidak melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan padahal mereka mempunyai kuasa atas tanah mereka. Dan juga tudak sedikit mereka yang mempertahankan tanah mereka akan di kriminalisasi.
Seperti yang terjadi pada masyarakat adat di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, yang hingga saat sekarang belum pernah membeli beras karena pangan nya sudah tercukupi dari hasil lahan sendiri yang menunjukan kehidupannya sangat bergantung pada hutan. Namun, kehidupan mereka terancam dipindahkan paksa karena pembangunan sebuah proyek besar milik negara.
Tidak hanya di daerah terpencil. Ketidakadilan terhadap masyarakat hukum adat ini merata di seluruh bagian Indonesia. Seperti yang terjadi di Sumatera, masyarakat adat Tano Batak juga di pindah paksakan. Di kalimantan, masyarakat adat sekitar proyek Ibu Kota nusantara (IKN) sudah mulai merasakan ketidakadilan. Masyarakat adat tersebut tidak hanya kehilangan tanah mereka. Lebih daripada itu, mereka kehilangan budaya mereka, nilai-nilai hidup, dan hak hak untuk mempertahankan kehidupan mereka sendiri. Terjadinya Konflik di sebabkan oleh Ketidak terbukaannya pembangunan yamg tidak melibatkan masyarakat adat dalam prosesnya.